Jakarta, Perkembangan teknologi di bidang medis melahirkan telemedicine atau pengobatan jarak jauh. Termasuk untuk aborsi, dokter bisa melakukannya lewat video conference. Meski diklaim lebih aman dan efektif, terobosan ini masih kontroversial.
Tren baru untuk menggugurkan kandungan dari jarak jauh melalui video conference tengah digandrungi di Amerika Serikat. Tidak ada tatap muka secara langsung, pasien dan dokter hanya berkomunikasi lewat komputer dan webcam yang terhubung dengan internet.
Jenis aborsi yang dilakukan melalui video conference adalah aborsi dengan ramuan obat tertentu. Melalui video conference, dokter akan membimbing pasien untuk menentukan dan meracik obat-obatan yang diperlukan lalu memberi tahu aturan minumnya.
Meski dilakukan jarak jauh, efektivitasnya diklaim aman dalam sebuah penelitian di jurnal Obstetrics & Gynecology. Penelitian yang melibatkan 449 perempuan yang mengunjungi pusat layanan KB di Iowa ini mencatat keberhasilan aborsi dengan video conference adalah 99 persen.
Dari 223 perempuan yang melakukan aborsi dengan dibimbing dokter melalui video conference, hanya 3 yang tidak sukses. Dua di antaranya membutuhkan tindakan medis untuk menyelesaikannya, sedangkan 1 lagi memilih untuk melanjutkan kehamilannya setelah upaya aborsinya gagal.
Tingkat keberhasilannya tidak jauh beda bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan aborsi yang dilakukan sendiri oleh dokter. Dari 226 perempuan yang melakukan aborsi dengan bantuan dokter secara langsung, 7 di antaranya gagal dan membutuhkan tindakan medis untuk menyelesaikannya.
Hanya saja karena tidak ada tatap muka, banyak kalangan mengkhawatirkan dampaknya secara psikologis bagi para perempuan. Pakar kesehatan dari Foxnews Health, Dr Manny Alvarez mengaku cemas jika tren aborsi jarak jauh ini meluas dan makin banyak peminatnya.
Menurutnya, keputusan untuk aborsi harus didahului dengan diskusi yang 'intim' antara dokter dengan pasien karena akan berdampak secara psikologis. Komunikasi lewat webcam dinilainya terlalu 'dingin' dan tidak menghadirkan unsur kedekatan fisik dan emosional yang dibutuhkan oleh perempuan dengan kehamilan tidak direncanakan.
"Mari berharap agar pemanfaatan telemedicine yang seperti ini (aborsi jarak jauh) tidak meluas dan menjadi tren nasional di Amerika. Semoga nantinya teknologi dimanfaatkan untuk hal yang lebih tepat," ungkap Dr Alvarez seperti dikutip dari Foxnews. Sumber detik.com
Tren baru untuk menggugurkan kandungan dari jarak jauh melalui video conference tengah digandrungi di Amerika Serikat. Tidak ada tatap muka secara langsung, pasien dan dokter hanya berkomunikasi lewat komputer dan webcam yang terhubung dengan internet.
Jenis aborsi yang dilakukan melalui video conference adalah aborsi dengan ramuan obat tertentu. Melalui video conference, dokter akan membimbing pasien untuk menentukan dan meracik obat-obatan yang diperlukan lalu memberi tahu aturan minumnya.
Meski dilakukan jarak jauh, efektivitasnya diklaim aman dalam sebuah penelitian di jurnal Obstetrics & Gynecology. Penelitian yang melibatkan 449 perempuan yang mengunjungi pusat layanan KB di Iowa ini mencatat keberhasilan aborsi dengan video conference adalah 99 persen.
Dari 223 perempuan yang melakukan aborsi dengan dibimbing dokter melalui video conference, hanya 3 yang tidak sukses. Dua di antaranya membutuhkan tindakan medis untuk menyelesaikannya, sedangkan 1 lagi memilih untuk melanjutkan kehamilannya setelah upaya aborsinya gagal.
Tingkat keberhasilannya tidak jauh beda bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan aborsi yang dilakukan sendiri oleh dokter. Dari 226 perempuan yang melakukan aborsi dengan bantuan dokter secara langsung, 7 di antaranya gagal dan membutuhkan tindakan medis untuk menyelesaikannya.
Hanya saja karena tidak ada tatap muka, banyak kalangan mengkhawatirkan dampaknya secara psikologis bagi para perempuan. Pakar kesehatan dari Foxnews Health, Dr Manny Alvarez mengaku cemas jika tren aborsi jarak jauh ini meluas dan makin banyak peminatnya.
Menurutnya, keputusan untuk aborsi harus didahului dengan diskusi yang 'intim' antara dokter dengan pasien karena akan berdampak secara psikologis. Komunikasi lewat webcam dinilainya terlalu 'dingin' dan tidak menghadirkan unsur kedekatan fisik dan emosional yang dibutuhkan oleh perempuan dengan kehamilan tidak direncanakan.
"Mari berharap agar pemanfaatan telemedicine yang seperti ini (aborsi jarak jauh) tidak meluas dan menjadi tren nasional di Amerika. Semoga nantinya teknologi dimanfaatkan untuk hal yang lebih tepat," ungkap Dr Alvarez seperti dikutip dari Foxnews. Sumber detik.com