Asal-usul motif belang pada tubuh harimau kembali dipertanyakan. Para
ilmuwan selama puluhan tahun menggunakan teori morfogen untuk menjawab
bagaimana harimau memperoleh garis belang.
Teori ini menyatakan
perbedaan kandungan protein pengatur menyebakan pengaktifan gen yang
memunculkan kondisi fisik tertentu pada tubuh harimau, dalam hal ini
motif belang.
Pertama kali dikemukakan tahun 1950 oleh
matematikawan dan pemecah kode Perang Dunia Kedua, Alan Turing, teori
morfogen mengalami penyempurnaan oleh Lewis Wolpert, satu dekade
kemudian.
Namun kini beberapa ahli biologi mempertanyakan teori
yang digagas Turing. Sebagian dari mereka berpendapat ciri-ciri fisik
pada makhluk hidup selalu terikat pada konsentrasi mutlak protein yang
ada dalam gradien morfogen tertentu.
Berdasarkan teori ini,
jika konsentrasi protein terdapat dalam jumlah cukup, ciri-ciri fisik
tertentu akan terbentuk. Sebaliknya jika jumlah proteinnya kurang akan
memicu pembentukan represor, sehingga ciri fisik tidak akan muncul.
Pendapat lainnya menyebutkan ciri fisik belum tentu muncul akibat
jumlah tertentu dari protein, tetapi, lebih tepatnya, disebabkan
interaksi yang lebih kompleks antara beberapa gradien yang bekerja
melawan satu sama lain.
Beberapa ahli biologi dari New York
University menguji teori ini dengan meneliti lalat buah (Drosophila
melanogaster), spesies yang bisa dijadikan model kuat untuk mempelajari
perkembangan genetik karena bisa menerima berbagai manipulasi genetik.
Mereka berfokus pada satu protein, yaitu bicoid (Bcd), yang
diekspresikan dalam gradien dengan konsentrasi tertinggi pada tahap
akhir embrio yang kelak menjadi kepala lalat dewasa. Sejumlah besar gen
target yang secara langsung diaktifkan dengan bicoid, diteliti.
"Setiap gen target diekspresikan ke bagian embrio dengan batas yang
disesuaikan dengan struktur tertentu," kata ketua departemen biologi
universitas, Stephen Small, yang memimpin penelitian, Senin 30 April
2012.
Para peneliti selanjutnya memeriksa urutan DNA yang
berkaitan dengan gen target. Mereka menemukan titik-titik ikatan untuk
tiga protein, yakni Runt, Capicua, dan Kruppel. Semua titik ini
bertindak sebagai represor. "Ketiga protein diekspresikan dalam gradien
dengan konsentrasi tertinggi di bagian tengah embrio," kata Small.
Kondisi ini menempatkan protein di tempat yang berlawanan orientasi
dengan gradien aktivasi bicoid.
Dengan mengubah distribusi
spasial dan memanipulasi titik ikatannya, Small dan rekan-rekannya
menemukan represor-represor ini bertindak memusuhi aktivasi yang
dilakukan bicoid. Temuan ini sangat penting untuk memastikan posisi
gradien yang tepat pada embrio normal.
Small mengatakan,
bertentangan dengan teori Turing, gradien tunggal protein tidak memiliki
kekuatan cukup untuk membentuk cetakan tubuh yang sama pada setiap
anggota suatu spesies. Namun jika ada gradien ganda yang bekerja melawan
satu sama lain, maka sistem menjadi cukup kuat untuk terjadinya
perkembangan normal.
Hasil penelitian ini, yang dilaporkan
dalam jurnal Cell, menimbulkan pertanyaan tentang teori morfogen. "Kami
menyarankan perlunya beberapa perbaikan tambahan (dalam teori
morfogen)," ujar Small.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar